Jika dewata memiliki tempat tinggalnya di Bumi, mungkin mereka akan memilih tinggal di Dieng. Bisa jadi ini alasan orang Jawa Kuno menyebut tempat ini “Dieng”: Berasal dari kata “Di-Hyang“, gabungan dua kata dalam Bahasa Kawi yang memiliki arti “tempat dewata”.
Perpaduan peninggalan arkeologi dari abad 8 atau 9 dengan keindahan alam menjadikan Dieng pantas dianggap sebagai tempat tinggal para dewa. Peninggalan candi yang dibangun di tengah keindahan pegunungan yang memiliki sejumlah telaga dan kawah, menjadikan Dieng tampak nyata sebagai perwujudan sebuah kahyangan.
Soetjipto Wirjosuparto dalam buku Sedjarah Bangunan Kuna Dieng (1957) mencatat peninggalan arkeologi di pegunungan Dieng pertama kali ‘ditemukan’ oleh sejarawan Belanda, H.C. Cornelius pada tahun 1814. Saat itu, dataran Dieng masih berupa danau. Ini menyebabkan sebagian di antara candi-candi yang ditemukan masih terendam air.
Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen menjadi pelopor yang membuat sistem pengairan sehingga dataran di sekitar candi-candi menjadi kering. Dengan demikian, von Kinsbergen mudah untuk mengambil foto mengenai candi-candi di pegunungan Dieng.
Sedikitnya, ada 9 candi yang masih tersisa di pegunungan Dieng. Lima candi termasuk dalam kompleks percandian Arjuna: Arjuna, Srikandi, Puntadewa, Sembodro, Semar (berfungsi sebagai candi perwara atau pendamping candi Arjuna, satu-satunya perwara yang masih utuh). Sedikit di sebelah barat daya komplek percandian Arjuna, terdapat candi Setyaki.
Sedangkan, di sebelah utara komplek percandian Arjuna, terdapat candi Dwarawati, dan candi Gatotkaca di sebelah barat Arjuna. Adapun di bagian paling selatan, terdapat candi Bima.
Tidak jelas sejak kapan percandian di Dieng dinamakan dengan nama-nama tokoh wayang, terutama dari kisah Mahabharata. Kemungkinan nama-nama itu diberikan beberapa abad kemudian.
Menilik temuan prasasti di sekitar komplek candi yang memiliki angka tahun 713 Saka/809 Masehi, percandian Dieng diperkirakan berasal dari abad ke-8 atau 9. Namun, belum diketahui nama asli dari candi-candi yang bersifat Saiwa dari masa Klasik Tua ini.
Jika mengambil klasifikasi versi Soekmono, maka gaya arsitektur candi di Dieng, memiliki langgam Jawa Tengah Utara. Seluruh candi yang ditemukan berasal dari bahan batu andesit, dengan ragam hias sederhana, seperti kala-makara dan relief. Tapi tidak terlihat arca di percandian Dieng, karena sebagian sudah dipindahkan, antara lain ke Museum Nasional.
Hanya candi Bima yang memiliki gaya arsitektur berbeda. Sebagian ahli arkeologi menyebut candi Bima memiliki gaya arsitektur India Utara, berbeda dengan candi lain yang bergaya India Selatan. Belum diketahui secara pasti apakah candi ini berasal dari periode yang sama dengan candi yang lain di pegunungan tinggi Dieng.
Mengenai keletakan candi di dataran tinggi, ini disebabkan aturan dalam kitab Vastusastrasilpin (seniman). Di situ disebut, tempat para dewa baiknya berada di gunung, dengan air yang mengalir. Secara simbolik, gunung juga merupakan perwujudan mikrokosmos, tiruan dari Mahameru yang menjadi tempat tinggal dewata. yang menjadi pedoman bagi para
Konsep ini dikenal secara umum di sejumlah kebudayaan. Misalnya tempat tinggal Zeus dan sejumlah dewa Yunani di gunung Olympus.
Karena itu jika Anda sedang berada di Dieng, cobalah berada di komplek percandian Arjuna saat matahari terbit. Tataplah ufuk saat jingga fajar mulai terlihat. Paduan terbit matahari dengan kabut pegunungan menghasilkan warna perak yang melatari candi, yang dikenal dengan sebutan silver sunrise…